Rabu, Oktober 08, 2008

Anakku menaklukan Gunung Ijen

Tak disangka, kedua anakku berhasil menaklukan gunung dengan ketinggian 2.445m diatas permukaan laut.

Jika mereka telah dewasa, mungkin bukan sebuah kejutan bagiku. Tetapi mereka masih kecil, 8 tahun dan adiknya 5 tahun. Berjalan mendaki jalan yang curam, menaiki tanjakan sampai 45 derajat, melewati jalan setapak selebar 2m dengan sisi jurang. Menembus kabut, melawan dingin. Hanya dengan sebatang tongkat yang membantunya berjalan, mereka tanpa mengeluh mendaki sampai ke puncak dan menyaksikan Kawah Ijen yang menawan.


Saat semua putus asa dan hendak turun dipertengahan jalan yang terjal, anakku yang bungsu, Gilbert malah melangkah maju, diikuti kokonya, Christopher. Semangatnya membuat kami bangkit kembali. Berkali-kali kami hendak putus asa, berkali-kali juga anakku membuat kagum. Bahkan sepanjang separuh perjalanan, saat banyak wisatawan yang memutuskan berhenti melanjutkan perjalanan, baik tua maupun muda, anakku menerima banyak pujian dari wisatawan yang melihatnya.

Akhirnya setelah melewati perjalanan yang berat, kami sampai juga dipuncak. Anakku yang bungsu, Gilbert berkomentar, "Lho, cuman seperti ini puncak gunung?" Yang tidak dapat aku jawab karena kehabisan napas dan juga gregetan.

Sementara kokonya, Christopher, langsung menagih janji 2 buah mainan Ben10, masing-masing satu. Ditengah perjalanan memang aku sempat janjikan masing-masing akan dapat Ben10 jika sampai puncak, pada saat Gilbert hendak maju meneruskan perjalanan dan Christopher hendak turun kembali kebawah. Dari pada ribut disana, satu hendak naik dan satu hendak turun, karena itu aku lontarkan janji tersebut. Tidak tahunya mainan tersebut memberikan kepada anakku.

Ditengah jalan sempat janjiku ditawar. Kalau sampai Pos diatas, dapat separuh, yaitu 1 mainan saja. Karena keduanya setuju, akupun menyetujui kesepakatan tambahan tersebut. Bayangku, tentu mereka akan turun setelah itu. Tidak tahunya mereka malah sepakat meneruskan perjalanan, setelah mengetahui jalan sisanya agak datar dan pemandangannya sangat indah.
Tidak cukup bergembira dipuncak, kami masih harus turun lagi. Perjalanan 2-3 jam lagi. Kali ini tentu lebih berat sebab menuruni jalan yang curam. Aku sudah kawatir mereka akan mengeluh capek saat turun, tetapi mereka samasekali tidak mengeluh. Mereka turun dengan semangat, sama seperti naiknya. Luar biasa.

Persoalan baru datang lagi, kami terlambat menuruni gunung. Jam 4 sore kami barjalan perlahan agar anak kami tidak jatuh dijalan yang curam penuh kerikil kecil yang dapat membuat terpeleset. Memang anak kami tidak jatuh, tetapi gelap telah menyelimuti gunung. Beberapa binatang hutan sudah bermuculan. Kami melihat beberapa ekor kera, mendengar suara berisik semak-semak, ditambah lagi sudah dari tadi tidak ada orang lalu lalang, bahkan penduduk desa sekalipun.

Kami berjalan dalam gelap ditengah hutan menuruni gunung. Untunglah anak sulungku, Christopher membawa senter. Dengan bantuan senter kecil itu kami berjalan didalam kegelapan. Kedua anak kami sama sekali tidak takut atau mengeluh. Dari wajahnya terpancar semangat dan ceria walau tidak dapat menutupi kelelahannya.

Luar biasa, akhirnya kami keluar dari hutan, mencapai pintu masuk. Lega rasanya telah berada dikaki gunung, walau sudah sepi, tinggal para pemuda yang berkemah disana dan penduduk yang menjaga gunung.

Sejujurnya saya sangat bangga dengan kedua anakku. Mereka telah menaklukan gunung diusia yang sangat belia.

Baca selengkapnya...